Kita mengerti bahwa Tuhan menciptakan
kita dengan jiwa, dan jiwa yg dimaksud adalah fikiran kita sendiri. Pernah saya
bertanya pada guru saya, sebenarnya lebih besar resiko jadi dokter umum, atau
jadi dokter jiwa? Tetapi guru saya terlihat ragu untuk menjawabnya. Namun, ada
sebuah petuah yg akhirnya keluar dari beliau, setelah sedikit lama berfikir.
“saya fikir memang lebih beresiko jadi dokter jiwa, karena dokter jiwa
mempengaruhi sikap dari si pasien.” Pertama saya mendengar, itu terasa aneh
bagi saya, yg notabene masih dibawah umur dan belum terlalu dewasa atas
pernyataan seperti itu. Namun setelah saya pulang ke rumah, saya mulai
berfikir, memang ada benarnya juga. Fisik yg lemah memang bisa diperkirakan
bahwa 90% penyebabnya adalah stress. Yah, mungkin kalau untuk remaja seusia
saya, stresnya ya karena patah hati (putus cinta) hehehe…
Tapi
memang menurut pengamatan saya, semua di dunia ini, yg berhubungan dengan
manusia, berjalan karena adanya fikiran dr manusia itu sendiri. Misalkan,
seseorang yg kaya raya dalam urusan materi, jika ia terlalu stress, hidup akan
terasa tanpa arah, sehingga akhirnya dia bias jatuh sakit. Mirip2 seperti di
sinetron begitulah. Tapi memang pada kenyataannya, itu memang terjadi dan
benar2 ada, serta tidak bisa dipungkiri.
Saya mulai benar2
merasakan semua itu ketika saya patah hati. Saya lalu berfikir bahwa saya tidak
pantas untuk siapapun, sampai saya berniat untuk mengakhiri hidup saya. Saya
fikir, saya terlalu mencintai orang yg waktu itu benar2 membuat saya patah
hati. Dan ternyata benar, saya merasa kesulitan dalam melupakan semua kepedihan
tersebut. Saya lalu terfikir untuk sakit, dan ternyata benar. Saya mengidap
penyakit yg tidak pernah saya duga sebelumnya. Penyakit yg membuat orang2 yg
hanya melihat saya dari fisik, terlihat tidak percaya. Lalu saya berfikir
kembali, apa sebenarnya yg membuat saya sakit seperti ini?
Saya mencoba
merenung sejenak, memusatkan fikiran saya untuk membaca diri saya sendiri. Saya
lalu berbicara sendiri, hampir mirip seperti orang gila. Orangtua saya sempat
menganggap saya labil, hingga beliau berdua terlihat prihatin saat melihat saya
berbicara sendiri. Namun beliau berdua faham, bahwa saya sejak kecil memang
mempunyai kebiasaan seperti itu. Beliau berdua tak pernah memarahi ataupun
menyuruh saya utk menghentikan aktivitas tsb. Beliau berdua beranggapan, bahwa
mungkin dengan cara tsb saya bisa memahami diri saya sendiri. Kembali ke pokok
bahasan utama. Lalu saya mencoba
bertanya, kenapa saya bisa sakit? Padahal dulu saya tidak pernah mempunyai
gejala penyakit yg diderita saya sekarang? Apa yg terjadi pada diri saya?
Setelah itu, saya seperti memiliki bayangan di fikiran bahwa ada satu hal yg
membuat saya seoerti ini. Saya mencoba bertanya lagi, apa yg sebenarnya membuat
saya terkena gangguan seperti ini? Lalu di fikiran saya tercermin suatu
gambaran yg lebih jelas. Saya mencoba meraba2 apa yg dimaksudkan gambar tsb
dalam fikiran saya. Setelah beberapa detik, akhirnya saya mengerti, bahwa rasa
kekecewaan yg saya alami lah yg mengambil andil terbesar dalam sakit yg saya
idap. Saya lalu menangis, saya memahami bahwa saya terlalu lemah karena kalah
oleh fikiran saya sendiri. Fikiran saya seperti terbagi jadi dua, antara ingin
kembali pada dia di masa lalu, dengan meninggalkan berbagai kenangan saya
dengannya.
Kembali saya
merenung, tapi karena saya tidak temukan jawabannya, saya langsung duduk di
depan laptop dan mencari berbagai kata2 bijak untuk memotivasi saya. Ketika
saya membaca semua kata2 itu, di fikiran saya seperti ada sugesti yg sangat kuat
untuk melupakan setiap jengkal kesedihan yg saya alami. Namun bagian lain dari
fikiran saya masih terfikir untuk kembali pada dia yg di masalalu. Lalu saya
mencoba untuk mensugesti fikiran saya, dengan niat, dengan membaca bismillah,
dengan berdoa pada Yang MahaKuasa supaya diberi kekuatan untuk menempuh perjalanan
hidup ini. Dan Alhamdulillah, sedikit demi sedikit saya dapat menghapus
fikiran2 yg tidak penting dari otak saya… (bersambung)